Banjarmasin – Direktur Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) Reynhard Silitonga mendukung sepenuhnya optimalisasi penerapan “restorative justice” atau keadilan restoratif sebagai langkah perbaikan sistem hukum di Indonesia.
“Adanya ‘restorative justice’ menunjukkan salah satu langkah tepat pemerintah untuk menuju arah perbaikan sistem hukum,” kata dia di Banjarmasin, Jumat.
Menurut Reynhard, sistem pembinaan yang identik dengan pemenjaraan tidak bisa digunakan lagi sekarang karena pemenjaraan bukanlah solusi. Bahkan menambah permasalahan baru karena menyebabkan kelebihan kapasitas dari lembaga pemasyarakatan (lapas).
Kemudian solusi untuk mengatasi kelebihan kapasitas di Lapas dan Rutan, diharapkan ada peraturan baru yang memberikan keputusan untuk tidak membebankan rehabilitasi seluruh warga binaan pemakai narkotika kepada lapas yang kapasitasnya rata-rata dipenuhi kasus narkotika.
Diketahui hingga saat ini pemerintah belum menarik status darurat narkoba di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan langkah yang terpadu dan bersinerginya pihak-pihak terkait dalam mengatasi hal tersebut.
“Sejatinya kita harus fokus dalam melakukan pencegahan peredaran dan penyalahgunaan narkoba dan melakukan rehabilitasi terhadap warga binaan pemasyarakatan yang terjerat kasus narkotika,” jelasnya.
Penerapan keadilan restoratif salah satunya berpedoman pada Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Ada tiga syarat prinsip keadilan restoratif yang bisa dicapai yaitu pelaku baru pertama kali melakukan kejahatan, ancaman pidana tidak lebih dari 5 tahun serta nilai kerugian perkara tidak lebih dari Rp2.500.000. (Ant)